Rabu, 02 Mei 2012

tradisi zaman pra sejarah


Tradisi masyarakat pra-aksara kepulauan Indonesia masa berburu dan meramu
• Tradisi perekonomian
Kehidupan manusia pada periode ini sangat tergantung pada alam. Dalam hal menghasilkan makanan, manusia banyak menggantungkan diri pada bahan makanan yang disediakan alam. Bukti-bukti tentang perekonomian yang berkembang di seluruh kepulauan Indonesia pada waktu itu hingga kira-kira 2.500 SM menunjukkan tradisi perekonomian yang lebih bergantung pada aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan.

• Tradisi sosial
Manusia lebih memilih daerah dataran rendah atau padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil yang terletak berdekatan dengan sungai atau danau sebagai tempat tinggal. Mereka tinggal dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima keluarga (20-30 orang). Mereka berpindah secara musiman dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada waktu-waktu tertentu mereka diduga menemui kelompok lain untuk melakukan kegiatan upacara-upacara tertentu.

• Tradisi pembuatan alat penunjang kehidupan
Masyarakat pra aksara kepulauan Indonesia pada periode ini banyak meninggalkan beragam peninggalan budaya material berupa alat-alat fungsional penunjang kehidupan mereka. Dari hasil penelitian arkeologi diketahui bahwa alat-alat penunjang kehidupan masyarakat pra aksara pada periode ini sebagian besar terbuat dari kayu, batu, tulang, dan kulit kerang. Untuk alat yang terbuat dari kayu memang tidak ditemukan peninggalanya (karena mudah lapuk), tetapi dapat dipastikan kayu merupakan alat fungsional utama mereka. Di kepulauan Indonesia peninggalan alat-alat tersebut sangat banyak ditemukan.
Tradisi penggunaan alat-alat batu sebagai penunjang utama kehidupan manusia berkembang sebelum munculnya tradisi tembikar (preceramic). Industri alat batu ini terutama berupa alat batu yang diserpih yang pada umumnya tidak diasah. Tradisi alat batu serpih yang tidak diasah ini kemudian berkembang menjadi tradisi alat-alat dari kerakal batu (pebble) yang diasah tajamnya serta diperhalus. Semua tradisi alat-alat batu tersebut berasal dari kala Pleistosen akhir.
Tradisi penggunaan alat tulang sebagai alat penunjang kehidupan manusia dibuktikan dengan ditemukannya berbagai jenis peralatan yang berasal dari berbagai jenis tulang dengan bentuknya yang beragam. Temuan-temuan itu antara lain terdapat di tepian danau Mindanau (Minahasa) berupa lancipan tulang yang tertimbun bersama sampah kerang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi masyarakat pra aksara Indonesia pada awalnya didominasi oleh tradisi membuat alat-alat fungsional yang terbuat dari kayu, batu, tulang dan kulit kerang sebagai upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok berupa makanan. Tradisi berkaitan dengan kehidupan politik, seni, dan kepercayaan belum berkembang.

• Tradisi masyarakat yang berkaitan dengan kepercayaan
Kepercayaan manusia yang berkaitan dengan tradisi penyembahan sebagaimana yang berkembang pada masa-masa kemudian belum ada pada periode ini. Tidak terdapat bukti arkeologis yang mengungkap tentang dimensi religi masyarakat masa berburu dan meramu.


b.Tradisi masyarakat pra-aksara kepulauan Indonesia masa epi-paleolitik dan berburu
• Tradisi ekonomi
Dalam hal menghasilkan makanan, kebiasaan sebelumnya tetap dominan dilakukan. Masyarakat masih menggantungkan diri pada bahan makanan yang disediakan alam. Dalam hal  ini, aktivitas berburu merupakan kegiatan utama manusia dalam upaya mereka menghasilkan makanan. Dalam hal pemilihan makanan, berbagai jenis tumbuhan dan makanan laut seperti ikan, kerang, burung laut dan hewan laut lainnya semakin penting dalam daftar makanan mereka. Di Indonesia timur pada periode ini ditemukan bukti bahwa ada kebiasaan masyarakat mengkonsumsi sejenis tikus raksasa (sekarang sudah punah) serta memakan areca (buah pinang).

• Tradisi sosial
Jika sebelumnya manusia lebih memilih daerah dataran rendah atau padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil sebagai tempat tinggal, maka pada periode ini kelompok manusia terutama banyak menghuni gua-gua dan ceruk-ceruk tepi pantai. Beberapa kelompok ada yang memilih menetap tetapi ada juga yang bersifat setengah menetap (semi sedenter). Mereka sudah mulai melakukan pembagian kerja. Diantaranya ada kelompok-kelompok yang mulai mengkhususkan diri berburu hewan tertentu dan membuat peralatan yang lebih beragam untuk kegiatan-kegiatan khusus.
• Tradisi penggunaan alat-alat penunjang kehidupan
Tradisi alat hidup mereka diantaranya menghasilkan aneka bentuk mata pisau dan alat-alat batu lainnya, disamping alat tulang.

• Tradisi kepercayaan melalui seni
Tradisi membuat lukisan, yang kemungkinan juga berkaitan dengan kepercayaan masyarakat sudah mulai muncul pada masa ini. Di wilayah Indonesia timur banyak ditemukan aneka bentuk lukisan yang catnya terbuat dari bahan hematit merah. Lukisan-lukisan itu mereka gambar pada dinding-dinding gua tempat tinggal mereka. Kebanyakan gambar-gambar itu adalah berupa cap tangan dan babi liar.

c. Tradisi masyarakat prasejarah kepulauan Indonesia masa bercocok tanam
• Tradisi ekonomi
Tradisi perekonomian masyarakat mengalami perkembangan pada masa ini. Jika sebelumnya banyak menggantungkan diri pada alam, mereka mulai mencoba mengupayakan bercocok tanam dan beternak, kendati masih dengan cara yang sangat sederhana.
Di wilayah timur kepulauan Indonesia masa antara 4.500 hingga 5.000 tahun lalu, kegiatan cocok tanam perladangan dan peternakan sudah dilakukan. Padi sudah mulai ditanam di wilayah Sulawesi bagian selatan. Pada waktu yang sama, tradisi beternak babi dan kambing sudah ada dalam wilayah yang luas yang meliputi Sulawesi hingga wilayah Timor. Pada waktu yang bersamaan dengan migrasi bangsa Austronesia ke Indonesia, penduduk Irian juga telah mengembangkan pertanian mereka sendiri terutama buah-buahan dan umbi-umbian. Perpaduan antara tradisi pertanin bangsa Austronesia dengan penduduk Irian telah membentuk pembauran mata pencaharian. Tumbuh-tumbuhan khasa Melanesia seperti sagu dan kenari dimanfaatkan di wilayah Maluku dan Irian. Berbeda dengan wilayah lainnya, tanaman padi nampaknya dikesampingkan di daerah ini.
Seiring dengan berkembangnya pola pikir, teknik dan model pertanian juga mengalami perkembangan. Mereka menemukan teknik pengairan, perawatan tanaman dan pemupukan. Dengan demikian pada periode ini telah terjadi pergeseran tradisi masyarakat dari yang semula bersifat food gathering berubah menjadi food producing.

• Tradisi sosial
Pada masa ini kehidupan masyarakat ditandai dengan berkembangnya tradisi neolitik. Manusia mulai menetap di desa-desa dengan jumlah penduduk antara 300 hingga 400 orang. Masyarakat pada masa ini juga telah menjalankan tradisi “jenjang sosial” dalam kelompok-kelompok kecil masyarakat. Jenjang sosial itu mereka dasarkan pada sejumlah prinsip tertentu. Prinsip paling utama adalah para keturunan pendiri permukiman atau yang pertama kali membuka lahan baru akan cenderung memiliki jenjang atau status sosial yang tinggi.
Kalau kita melihat masyarakat Austronesia tradisional dimanapun, nenek moyang selalu mendapat perhatian yang besar baik itu dalam seni maupun mitologi dan tradisi. Para pemimpin sering memperoleh kekuasaan karena mereka dapat menunjukkan jejak keturunan yang jelas dari nenek moyang pendiri marga atau suku. Dengan demikian kerabat pendiri yang mempunyai jenjang tinggi biasanya berpeluang memegang jabatan sebagai penguasa sekuler maupun keagamaan orang-orang seperti ini bisa memberi keputusan atas masalah-masalah desa, berhak menerima sumbangan makanan dan tenaga dari kelompok pendukung mereka. Mereka ini umumnya menunjukkan status mereka melalui kepemilikan atas barang-barang lambang kekayaan seperti guci Cina, manik-manik kuno, bangunan megalitik, senjata-senjata yang bagus, nekara dan sebagainya. Bukti kemakmuran lain dinyatakan melalui keberhasilan dalam pertanian dan membiakkan ternak, khususnya babi yang hasilnya bisa dipakai dalam pesta-pesta bergengsi.
Contoh dari masyarakat yang masih menerapkan sistem berjenjang yang asli adalah masyarakat Nias bagian selatan di lepas pantai barat Sumatera. Di beberapa kelompok masyarakat Kalimantan Tengah juga mempunyai sistem kelas yang didasarkan atas warisan, persekutuan antar keluaga serta kepemilikan benda-benda yang bernilai tinggi. Kelompok-kelompok masyarakat yang dimaksud seperti orang Kenyah, Kayan, dan Maloh. Mereka masih mempertahankan tiga atau empat lapisan sosial mulai dari bangsawan hingga ke budak. Para pemimpin mempertahankan status mereka melalui perkawinan campuran dengan keluarga-keluarga pemimpin di desa-desa lain. Pengorbanan budak dalam upacara kematian seorang pemimpin (seperti di Nias) juga terjadi di antara orang Kayan dan Melanau di Sarawak.
Dalam hal tradisi yang berkaitan dengan unsur kepercayaan diduga bahwa masyarakat sudah melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang mereka disamping kepercayaan akan kekuatan alam. Ada kelompok-kelompok yang mulai memilih pemimpin, diantara mereka.

• Tradisi kepercayaan
Masyarakat pada masa ini diperkirakan sudah mulai menjalankan tradisi pemujaan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan alam yang dilambangkan atau disimbulkan dalam bentuk pembuatan patung-patung sebagai sarana pemujaan.

d.Tradisi masyarakat prasejarah kepulauan Indonesia masa perundagian
• Tradisi ekonomi
Perdagangan antar wilayah yang jauh, dengan komuditas utamanya adalah alat-alat yang terbuat dari bahan logam ini sudah mulai berkembang.

• Tradisi sosial
Kedua bahan baru tersebut (besi-perunggu dan emas) dalam perkembangannya menjadi lambang kedudukan atau tingkat sosial (stratifikasi sosial).

• Tradisi pembuatan alat logam
Pada periode tradisi pengecoran logam, besi dan perunggu kemungkinan besar dikenal dalam waktu yang bersamaan. Pada periode ini manusia telah mampu membuat alat-alat penunjang kehidupan mereka dari perunggu. Daerah asal kebudayaan ini adalah di Indo-Cina. Masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 500 SM. Di Indonesia, benda-benda hasil
peninggalan zaman perunggu

diantaranya adalah nekara, jenis kapak, bejana, senjata, arca dan perhiasan. Situs-situs ditemukannya peninggalan perunggu meliputi Jawa, Bali, Selayar, Luang, Roti dan Leti.
Ada dua teknik pembuatan barang-barang dari perunggu. Teknik pertama adalah yang dikenal dengan teknik setangkup atau bivalve, dan teknik kedua adalah teknik cetakan lilin (a cire perdue).
Pertama, teknik bivalve
Teknik cetakan ini menggunakan dua cetakan dengan bentuk sesuai benda yang diinginkan yang dapat ditangkupkan. Cetakan diberi lubang pada bagian atasnya dan dari lubang tersebut kemudian dituangkan cairan logam. Bila sudah dingin, cetakan baru dibuka.
Kedua, teknik cetakan lilin (a cire perdue)
Teknik cetakan lilin menggunakan bentuk bendanya yang terlebih dahulu dibuat dari lilin yang berisi tanah liat sebagai intinya. Bentuk lilin dihias menurut keperluan dengan berbagai pola hias. Bentuk lilin yang sudah lengkap kemudian dibungkus dengan tanah liat. Pada bagian atas dan bawah diberi lubang. Dari lubang bagian atas kemudian dituangkan cairan perunggu dan dari lubang di bawah mengalir lelehan lilin. Bila cairan perunggu yang dituang sudah dingin, cetakan dipecah untuk mengambil bendanya yang sudah jadi. Cetakan seperti ini hanya dapat digunakan sekali saja.

Disamping tradisi pembuatan alat-alat perunggu manusia pada periode ini sudah mampu melebur bijih-bijih besi dalam bentuk alat-alat yang sesuai dengan keinginan dan kegunaannya. Benda-benda besi yang banyak ditemukan di Indonesia antara lain berupa mata kapak (banyak ditemukan dalam peti kubur batu di daerah Gunung Kidul, Jawa Tengah), berbagai jenis pisau dalam berbagai ukuran, mata sabit yang berbentuk melingkar, tajak, mata tombak, gelang-gelang besi dan sebagainya. Disamping perunggu dan besi, emas juga telah dimanfaatkan utamanya untuk membuat perhiasan dan benda-benda persembahan kubur.

• Tradisi penguburan
Dalam tradisi penguburan, masyarakat juga mempraktekkan bentuk-bentuk “penguburan sekunder”. Artinya setelah mayat dikubur dalam waktu yang lama, kuburnya kemudian dibongkar kembali, tulang-tulang yang sudah bersih dari daging kemudian disimpan dalam wadah khusus. Tradisi lain yang berkaitan dengan penguburan adalah kebiasaan menggunakan bangunan-bangunan megalitik. Tradisi ini antara lain ada di Sulawesi dan Borneo.
Khusus di Kalimantan, tepatnya pada masyarakat Dayak secara umum yang ada Kalimantan Timur, tradisi penguburan yang lazim dilakukan adalah penguburan sekunder. Pada awalnya masyarakat Dayak menggunakan gua sebagai tempat penguburan tetapi dalam perkembangannya pemanfaatan gua sebagai tempat penguburan mulai ditinggalkan. Memasuki masa megalitik, penguburan dengan menggunakan tempayan, dolmen mulai berkembang. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya dolmen dan tempayan kubur di daerah sepanjang hulu Sungai Bahau, Kecamatan Long Pujungan, Kabupaten Malinau. 
Di Jawa pada jaman sebelum pengaruh India masuk, ada pula tradisi pembuatan “rumah-rumah mayat” yang diletakkan di atas tiang-tiang yang digunakan untuk penguburan sekunder. Di Kalimantan, terutama di Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat dimana suku Dayak Taman tinggal, tradisi penguburan dengan membuat “rumah-rumah mayat” disebut dengan kulambu. Merupakan pondok penyimpanan lungun atau peti jenazah orang yang tumate atau telah meninggal. Di pondok itulah jenazah para leluhur, orang tua dan anak-anak disemayamkan. Dalam kulambu tidak hanya diisi lungun saja tetapi juga ipalolaang mate atau benda-benda yang disertakan pada jasad, yang kemungkinan besar adalah sebagai bekal kubur.

e. Tradisi masyarakat pada masa transisi prasejarah menuju sejarah
• Tradisi ekonomi
Masyarakat prasejarah Indonesia pada waktu beralih ke periode sejarah berada dalam periode bercocok tanam dan penggunaan logam. Bangsa Austronesia yang berekspansi ke kepulauan Indonesia membawa serta tradisi ekonomi yang sepenuhnya pertanian (cocok tanam), termasuk tanaman padi. Disamping itu mereka juga mengenalkan tembikar dan alat baru, yaitu beliung batu bertajaman satu sisi. Meski demikian masyarakat kepulauan Indonesia masih melakukan aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan baik di darat maupun di laut.
Pemburu dan pengumpul makanan non-Austronesia mengalami penurunan dalam jumlah yang terus berkurang selama seribu tahun ekspansi Austronesia. Selama seribu tahun, antara 500 SM hingga 500 M, kepulauan Indonesia tergabung dalam lingkungan interaksi budaya yang luas. Perkembangan dan pengenalan unsur budaya baru yang utama pada masa ini diantaranya adalah metalurgi dan budidaya sapi dan kerbau yang muncul bersamaan dengan meningkatnya peran pertanian padi berteras dan beririgasi di daerah-daerah tertentu.

• Tradisi sosial
Pada masa peralihan ini, penelitian menunjukkan bahwa secara sosial masyarakat telah tersusun secara lebih komplek dengan melembagakan stratifikasi sosial dan sistem kepemimpinan. Tradisi kehidupan sosial mereka dapat diterangkan sebagai berikut:
Para pemimpin masyarakat dan pembantu mereka bertanggung jawab atas kelangsungan dan kesejahteraan masyarakat. Model kepemimpinan didasarkan atas kepercayaan dan bukan pada kekuasaan yang diwariskan. Ini berbeda dengan periode sebelumnya, dimana model kepemimpinan masyarakat lebih di dasarkan pada kekuasaan yang diwariskan. Orang yang memperlihatkan kemampuan memimpin akan dihormati dan dihargai setelah meninggal.

• Tradisi penguburan
Pada abad pertama tarik masehi, tradisi penguburan baik dengan tempayan maupun sarkofagus mencerminkan kedudukan sosial. Orang yang dikubur dalam suatu wadah bersama benda bekal kubur memiliki kedudukan sosial berbeda dibanding dengan mereka yang dikubur tanpa peti mati. Bekal kubur itu diantaranya adalah berupa kapak segi empat, gelang batu, gerabah tanah liat, alat-alat besi, gelang perunggu, manik-manik dari kaca. Disamping pemberian bekal kubur tempat penguburan berupa kubur batu dengan dinding yang dilukis juga menunjukkan penghormatan tersebut. Beberapa kubur lempeng batu dan peti batu (sarkofagus) diantaranya ditemukan di Bondowoso (Jawa Timur), Kuningan (Jawa Barat).
Disamping di wilayah barat Indonesia, kebiasaan mengubur mayat bersama bekal kubur berkembang pula di wilayah timur Indonesia. Penggalian situs Melolo (Sumba Timur) mengungkap tentang tradisi pemakaman dengan bekal kubur. Situs ini berisi juga ratusan kubur sekunder dengan tulang-tulang orang yang meninggal dimasukkan dalam kotak batu bergaris tengah 25 – 50 cm berikut benda-benda seperti manik-manik, perhiasan dari kerang dan batu serta tembikar termasuk kendi berleher panjang.

Local genius masyarakat Indonesia masa peralihan
Menurut Brandes, pada akhir zaman prasejarah atau masa menjelang zaman sejarah nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki 10 macam kepandaian utama.
• Kepandaian bersawah
Dimulai pada jaman neolitikum dengan sistem huma. Berkembang sampai jaman perundagian dengan menggunakan lahan basah (pola pertanian menetap).
• Kemampuan berlayar
• Dilakukan dengan memanfaatkan perahu bercadik yang menjadi ciri khas masyarakat maritim Indonesia.
• Mengenal astronomi atau ilmu perbintangan
• Pengaturan masyarakat

Dimulai pada jaman megalitikum, yang ditandai munculnya “perkampungan” tradisional dan adanya pemimpin masyarakat yang dipilih secara musyawarah.
• Mengenal sistem macapat
Yaitu suatu tata cara dalam menata wilayah yang didasarkan pada pembangunan 4 tempat penting, yaitu pasar, tempat ibadah, penjara dan istana.
• Kepandaian dalam hal pertunjukan wayang
Berawal dari kepercayaan pada roh nenek moyang yang meninggal.
• Kepandaian dalam hal seni gamelan
Dipakai untuk mengiringi pertunjukan wayang atau mengiringi upacara keagamaan.
• Kepandaian dalam hal membatik dan menenun
• Kepandaian membuat alat-alat dari logam
Dimulai sejak jaman prasejarah. Dan berkembang pada periode perundagian.
• Kemampuan dalam perdagangan
• Kemampuan bidang ini terkait dengan kemampuan bangsa Indonesia dalam bidang pelayaran. Pada awalnya dilakukan dengan sistem barter.


3. Jejak Sejarah Dalam Sejarah Lisan di Berbagai Daerah di Indonesia

Diantara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki sastra tertulis. Beberapa daerah tertentu di Indonesia tulisan merupakan hal baru. Masyarakat yang tidak mengenal aksara ini memelihara dan menyampaikan pengetahuannya (adat kebiasaan, sejarah, ajaran moral, agama, kedudukan sosial dan sebagainya) sangat mengandalkan kata lisan. Tradisi lisan ini terpelihara secara turun-temurun dalam bentuk misalnya cerita rakyat, mitologi, dongeng dan legenda.

a. Jejak Sejarah Dalam cerita rakyat
Cerita rakyat adalah tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang  dalam masyarakat tertentu. Cerita rakyat bisa dikategorikan dalam tradisi lisan (oral tradition), sebagai oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more. Tradisi lisan ini terbatas pada kebudayaan lisan pada masyarakat yang belum mengenal tulisan. Cerita rakyat sebagai tradisi lisan berkembang dari jaman ke jaman yang diceritakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tema cerita sangat beragam, ia bisa berkaitan dengan kerajaan, kehidupan penguasa (raja), dewa, orang-orang yang dianggap suci, dan sebagainya.

b.Jejak Sejarah Dalam Mitologi
Secara sederhana mitos (mite) dapat didefinisikan sebagai bentuk cerita rakyat yang kebenarannya dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi, bahkan dianggap suci oleh masyarakat dimana mitos itu berkembang. Contoh: cerita tentang terjadinya gunung Tengger, gunung Batok, cerita tentang Barong, Leak (Bali) dan sebagainya.

c. Jejak Sejarah Dalam Dongeng
Adalah cerita rakyat yang berkembang pada masyarakat tertentu yang nilai kebenarnya tidak pernah ada, di dalamnya hanya terdapat khayalan. Ia lebih  bersifat hiburan, dan berisi ajaran moral dan kebaikan. Contoh: dongeng tentang binatang tertentu, dongeng tentang tokoh manusia dan sebagainya.

d. Jejak Sejarah Dalam Legenda
Sama seperti mitos, legenda merupakan cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi. Hal yang membedakan adalah bahwa tema dalam legenda lebih bersifat keduniawian. Contoh: cerita tentang Calon Arang, legenda tentang si manis jembatan ancol dan sebagainya.


4. Nilai, Norma dan Tradisi yang Diwariskan Dalam Sejarah Lisan Indonesia

Sejarah lisan merupakan karya sastra daerah yang disampaikan secara lisan oleh pendukung sastra lisan tersebut. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki dan mengenal sastra lisan. Bentuk penyampaian sastra lisan ini antara lain melalui tukang cerita. Selain berbentuk cerita prosa, penyampaian sastra lisan juga berbentuk sajak, peribahasa dan pantun
Sejarah atau kisah lisan memiliki beberapa kaidah atau norma pokok sebagai berikut:
• Lazimnya menggunakan pola dan susunan baku untuk membantu pencerita memproses ucapan dan mengingat teksnya
• Cerita tersusun dari serangkaian perisitiwa yang benar-benar terjadi atau hanya sekedar dongeng khayalan.
• Pencerita mengikuti kerangka kerja dasar tetapi tidak ada antar pencerita satu dengan yang lain yang memiliki cara yang sama dalam menceritakan satu kisah. Mereka akan menambhkan gaya dan sikapnya sendiri, memperbesar peran tokoh tertentu yang mereka sukai atau sebaliknya memperkecil peran tokoh yang tidak disukai, menambah kelucuan dan lain sebagainya.
Tradisi lisan di Indonesia saat ini semakin tidak berkembang, kalah dengan radio, televisi ataupun media cetak. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam tradisi lisan atau “tulisan di lidah” merupakan tantangan bagi kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang sedang berubah, seperti saat sekarang ini.




1 komentar:

  1. while serching on google about on helath related topics come across here,nice post.
    health tips

    BalasHapus